Resensi Novel “Sang Pemimpi” Karya Andrea Hirata

Identitas Buku

Judul                     : Sang Pemimpi
Penulis                 : Andrea Hirata
Penerbit              : PT Bentang Pustaka
Halaman              : x + 292 Halaman
Cetakan               : ke-14, januari 2008
Jenis Cover         : Soft Cover
Dimensi(L x P)   : 130x205mm
Kategori               : Petualangan
Text                       : Bahasa Indonesia
ISBN                      : 979-3062-92-4

 Latar Belakang Pengarang

Andrea Hirata, lahir di Belitong. Meskipun studi mayornya ekonomi, ia amat menggemari sains-fisika, biologi, kimia, astronomi dan tentu saja sastra. Andrea lebih mengidentikkan dirinya sebagai seorang akademisi dan backpacker. Sekarang ia tengah mengejar mimpinya untuk tinggal di Kye Gompa, desa tertinggi di dunia, di Himalaya. Andrea berpendidikan ekonomi di Universitas Indonesia. Ia mendapat beasiswa Uni Eropa untuk studi master of science di Universite de Paris, Sorbonne, Prancis dan Sheffield Hallam University, United Kingdom. Tesis Andrea di bidang ekonomi telekomunikasi mendapat penghargaan dri kedua universitas tersebut dan lulus cum laude. Tesis itu telah di adaptasi ke dalam bahasa Indonesia dan merupakan buku teori ekonomi telekomunikasi pertama yang ditulis oleh orang Indonesia. Saat ini Andrea tinggal di Bandung dan masih bekerja dikantor pusat PT. Telkom.

Sinopsis Buku

Setelah 40 tahun bumi pertiwi merdeka, akhirnya Belitong Timur, pulau timah yang kaya raya itu, memiliki sebuah SMA Negeri, yaitu SMA Negeri Bukan Main. Artinya tidak perlu lagi menempuh 120 kilometer untuk mengenyam pendidikan di bangku SMA. Namun tetap tidak mudah, karena sang kepala sekolah, Drs. Julian Ichsan Balia, yang juga seorang guru kesusastraan, sangat disiplin dan konsisten dalam menentukan siapa anak didiknya, NEM minimal 42, tidak bisa ditawar-tawar. Bahkan Mustar M. Djai’din, B.A, seorang guru biologi yang juga merupakan salah satu perintis berdirinya SMA Negeri Bukan Main, tidak berhasil menggoyahkan kokohnya peraturan Pak Balia. Meski beropini apapun anak laki-lakinya yang memiliki NEM 41,75 tetap gagal menjadi siswa di sekolah yang telah diusahakannya itu.

Ikal, Arai, dan Jimbron, yang merupakan tokoh protagonis dalam novel ini, diterima bersekolah di SMA Negeri Bukan Main. Mereka salah satu anak dari keluarga kurang beruntung di kampung terpencil di Belitong.  Ikal sedikit lebih beruntung dari Arai dan Jimbron. Karena walau ia hanyalah anak seorang pekerja PN Timah Belitong yang terancam terseret gelombang PHK, setidaknya ia memiliki keluarga yang lengkap dan penuh cinta kasih. Ia sangat mengagumi sosok ayahnya, yang ia sebut juara satu seluruh dunia.

Sedangkan Arai dan Jimbron memiliki kisah yang dapat dikatakan serupa. Arai merupakan simpai keramat, yakni orang terakhir yang tersisa dari suatu klan. Saat ia kelas satu SD, Ibunya meninggal ketika melahirkan, begitu pula adiknya yang baru lahir. Belum berakhir masa dukanya, saat ia naik kelas tiga SD, ayahnya dipanggil oleh Yang Maha Kuasa. Arai yang ternyata adalah sepupu jauh Ikal, kemudian diadopsi oleh Pak Seman Said Harun, ayah Ikal.

Jimbron yang kini gagap sebenarnya memiliki kisah amat pilu dibalik kegagapannya. Jimbron memiliki dua adik kembar perempuan. Ibunya wafat ketika Jimbron kelas empat SD. Sementara ayah yang ia jadikan orientasi hidupnya, terkena serangan jantung saat membonceng Jimbron dengan sepeda. Saat itu belum sampai 40 hari ibunya wafat. Jimbron sekuat tenaga pontang-panting membonceng ayahnya menuju Puskesmas. Setelah beberapa menit di Puskesmas, ayah Jimbron meninggal. Sejak saat itu Jimbron gagap. Kejadian memilukan itu juga berakibat munculnya ketertarikan Jimbron pada kuda yang mencapai tingkat obsesi komplusif. Kedua adik kembarnya diasuh bibinya di Pangkal Pinang, Pulau Bangka, sedangkan Jimbron diasuh oleh Pendeta Geovanny, sahabat keluarganya.

Ikal, Arai, dan Jimbron menyewa kamar kontrakan di Magai, karena jarak dari sekolah ke kampungnya terlalu jauh, yaitu 30 kilometer. Demi membiayai kehidupan dan membantu keluarga, mereka bekera menjadi kuli ngambat. Pekerjaan teramat berat dan kasar ini mengharuskan ketiganya bangun pukul 2 pagi, mengangkut ikan-ikan yang panjangnya rata-rata mencapai dua meter. Biasanya pekerjaan ini selesai pada pukul enam, sehingga mereka akan tergesa-gesa menggunakan sisa waktu sebelum jam tujuh.

Namun, walau bekerja sebegitu berat sambil sekolah, mereka tetap tidak melupakan status pelajar yang melekat dalam diri mereka. Buktinya, saat pembagian rapot, Ikal dan Arai berada di garda depan (peringkat sepuluh besar), Ikal di peringkat ketiga dan Arai di peringkat kelima. Sedangkan Jimbron, yang tumbuh invalid (kakinya panjang sebelah), namun memiliki semangat dan ketenangan yang luar biasa, berhasil mempersembahkan kursi nomor 78 untuk Pendeta Geo. Mereka punya mimpi yang hebat: berkelana menjelajahi Eropa sampai ke Afrika. Sekolah ke Prancis. Menginjakkan kaki di altar suci almamater Sorbonne.

Ikal, Arai, dan Jimbron, walau memberi inspirasi, tetap saja adalah remaja. Mereka tidak lepas dari jeratan perasaan yang sulit diterjemahkan dengan berbagai pemahaman dan kata-kata, yang disebut cinta. Ikal tetap setia pada cinta pertama yang entah dimana kini, A Ling, anak pemilik Toko Sinar Harapan. Arai pantang menyerah menjaga dan membuktikan cintanya pada sosok wanita yang sayangnya sangat tidak peduli. Pengorbanannya yang gigih, entah menguap kemana bagi seorang Zakiah Nurmala binti Berahim. Dan Jambron, lebih dari keobsesian komplusifnya terhadap kuda, ia mencintai Laksmi, gadis malang yang seakan lupa bagaimana cara tersenyum sejak keluarganya terenggut dalam peristiwa kecelakaan kapal di semenanjung yang kini dinamakan semenanjung Ayah.

Sebagai remaja, mereka terkadang lalai dan tergoda dengan gejolak perubahan menuju dewasa. Oleh karena itu, ketiganya kadang terseret masalah-masalah yang menimpa remaja pada umumnya. Namun dibalik setiap persoalan yang mereka ikut nimbrung atau bahkan yang mereka sebabkan, mereka mampu memetik dan menyimpulkan hikmah.

Ikal yang kini menginjak usia delapan belas rupanya telah mulai memahami realitas kehidupan. Ia kehilangan semangatnya. Dulu ia optimis bermimpi hingga melampaui posibilities-line, tapi kini, membayangkan mimpinya yang sangat tinggi itu, ia tersenyum pahit, menertawakan diri sendiri. Ia jadi banyak merenung memikirkan nasibnya masa depan yang paling banter menjadi pelayan restoran mi rebus atau kernet mobil omprengan reyot.

Walhasil, ia mempermalukan ayah yang ia cintai pada acara pembagian rapot di semester berikutnya. Ikal terhempas dari garda depan, merosot ke peringkat 75. Pak Mustar menerjangnya dengan kata-kata yang menyayat, ditambah kemarahan Arai yang membuat dadanya sesak. Puncaknya adalah ketabahan sang ayah yang pendiam, yang selalu menganggap hari pembagian rapot anaknya adalah momentum penting dalam hidupnya. Ia mengenakan setelan terbaiknya dan mengendarai sepeda sejauh 30 kilometer demi  menerima rapot anaknya. Ia tidak pernah berkata apapun, selain mengucap salam dan tersenyum bangga. Semua itu, ditambah penyesalan yang amat sangat, mampu membuatnya bangkit lagi.

Di semester terakhirnya bersekolah di SMA Negeri Bukan Main, Ikal berhasil membersihkan nama baik ayahnya, mempersembahkan kursi nomor tiga. Arai melejit naik menempati kursi nomor dua, tepat di samping kirinya, pujaan hati Arai bertengger, Nurmala tetap di posisi pertama sejak kelas sepuluh.

Berbekal tabungan hasil kerja sebagai kuli ngambat selama kurang lebih tiga tahun, ditambah masing-masing sebuah celengan penuh, pemberian dari Jimbron, Arai dan Ikal berangkat ke Jakarta. Mereka hanya memiliki dua petunjuk. Yang pertama adalah dari mualim kapten kapal Bintang Laut Selatan: tujulah Ciputat di Jakarta Selatan, tempat itu lumayan aman dibanding wilayah Jakarta lainnya. Yang kedua adalah wejangan kedua orangtuanya agar setiba di Jakarta mereka harus menemukan masjid terlebih dahulu. Namun, mereka malah terdampar di Bogor dengan pengetahuan sangat minim tentang kota itu.

Keberuntungan datang berbondong-bondong kepada dua petualang pencari ilmu ini. Mereka berhasil mencapai kompleks IPB, menemukan masjid, dan keesokan harinya menyewa kamar kontrakan di kawasan tersebut. Lebih dari itu, mereka berhasil memperoleh pekerjaan menjadi salesman. Namun, jiwa pekerja kasar yang melekat pada diri mereka bahkan selama tiga generasi sebelumnya tidak mampu ditransformasi seketika menjadi pedagang dalam masa percobaan satu bulan. Mereka kembali menganggur setelah diputuskan gagal menjadi salesman. Beruntung, salah satu sahabat mereka yang mempunyai usaha fotokopi merekrut keduanya.

Tawaran menjadi pegawai pos ternyata cukup menggiurkan. Namun prosesnya lumayan berat. Mereka harus menjalani beberapa test dan pelatihan fisik berbulan-bulan. Arai tersingkir pada test paru-paru, sedangkan Ikal melenggang maju hingga sukses menjadi pegawai pos bagian penyortiran surat. Tanpa sepengetahuan Ikal dan tanpa memberitahu alamat jelas, Arai bersama seorang temannya pergi ke Kalimantan untuk bekerja.

Ikal sangat lega karena akhirnya dapat mengenyam pendidikan lagi, tidak tanggung-tanggung, Fakultas Ekonomi di Universitas Indonesia. Di sumur ilmu yang kondang hingga berpuluh-puluh tahun berikutnya itu, Ikal bertemu Zakiah Nurmala. Sayang, Arai sedang tidak bersamanya.

Ikal baru saja lulus kuliah saat membaca pengumuman beasiswa strata dua yang diberikan Uni Eropa kepada sarjana-sarjana Indonesia. Ikal tidak sedetikpun melewatkan kesempatan berharga ini. Ia belajar jungkir balik demi mewujudkan mimpinya. Ia akhirnya berhasil melalui berbagai test panjang dan melelahkan, juga wawancara akhir. Saat itu, ia bertemu Arai kembali setelah berbulan-bulan berpisah. Arai juga mengambil kesempatan ini. Keduanya lalu memutuskan penantian hasil test akan mereka habiskan di kampung halaman,  Belitong.

Arai dan Ikal menemui sahabat lamanya, yang turut menyumbang dalam kesuksesan mereka hingga mencapai hari itu. Jimbron. Ia sukses merebut hati Laksmi dan membuat gadis itu tersenyum sepanjang waktu. Mereka kini mempunyai seorang anak berusia lima tahun. Arai dan Ikal lalu berkeliling kampung.

Dua amplop surat berisi keputusan hasil tes tiba di kediaman Bapak Seman Said Harun. Usai sholat Maghrib, Ikal dan kedua orangtuanya, arai ditemani foto alm. kedua orangtuanya, membuka suratnya masing-masing. Keduanya lulus tes dan berhak menerima beasiswa Uni Eropa, di Universitas yang sama, Universite de Paris, Sorbonne, Prancis.

 

Tanggapan

Novel “Sang Pemimpi” yang merupakan novel kedua dari tetralogi Laskar Pelangi ini benar-benar penuh inspirasi, tidak kalah mengagumkan dan menggugah dari novel karya Andrea Hirata sebelumnya. Bercerita tentang kehidupan tiga orang anak kampung dari kawasan PN Timah Belitong. Tiga pelajar perkasa yang begitu menghargai ilmu pengetahuan. Selain keterbatasan ekonomi, mereka memiliki kemauan tinggi dan dengan berusaha all out sekuat tenaga sekeras dan sekukuh baja, mengejar mimpi-mimpi yang terdengar sangat sumbang bila dipadukan dengan alunan kehidupan mereka yang membahana membuat hati miris.

Daya tarik pertama novel ini adalah bahwa novel “Sang Pemimpi” merupakan karya Andrea Hirata. Seorang Andrea Hirata, seperti dikatakan oleh Nicola Horner, adalah seorang seniman kata-kata. Ia memandang segalanya dari sudut pandang yang berbeda, tidak seperti orang kebanyakan. Dengan keahliannya dalam merangkai kata, ia mengemas dan menyajikan apa yang tampak dari matanya, menjadi sebuah suguhan yang sarat akan segala nilai plus.

Kedua. Andrea mendedikasikan novel best seller ini untuk sang ayah,  jelas tersurat dalam halaman v:

         “Untuk Ayahku Seman Said Harun, Ayah juara satu seluruh dunia”

 Juga dapat diketahui melalui salah satu bab khusus bertemakan kekagumannya pada sosok sang ayah, yaitu pada bab mozaik 8, Baju Safari Ayahku. Selain itu, dapat pula disimpulkan dari banyak kalimat maupun paragraf yang bertebaran di seluruh mozaik-mozaik dalam novel ini.

Ketiga. Buku ini mengandung banyak sekali inspirasi dan motivasi, hikmah yang dapat dipetik dengan mudah dari kisah-kisah yang disuguhkan. Semua yang mampu membakar semangat kaum muda dan kalangan pelajar. Salah satunya adalah,

         “Biar kau tahu, Kal, orang seperti kita tak punya apa-apa kecuali semangat dan mimpi-mimpi, dan kita akan bertempur habis-habisan demi mimpi-mimpi itu!”

Banyak juga dikutip kata-kata yang berasal dari mulut-mulut para ahli, hasil pembelajaran selama hidup mereka,

         “Tidak semua yang dapat dihitung, diperhitungkan, dan tidak semua yang diperhitungkan, dapat dihitung!! Albert Einsten!! Fisikawan nomor wahid!”

Di tengah keterperosokan kaum muda bangsa dan menurunnya semangat persatuan karena beberapa budaya yang terlalu mendominasi kehidupan nusantara, serta kehidupan beragama yang semakin kalut, novel ini hadir bagai oase di tengah padang gurun yang beratus hektar luasnya. Jauh dari kesan menggurui, novel yang berhasil menerobos pasaran di dua puluh lima negara ini sanggup membuka mata batin kita semua mengenai arti penting ilmu pengetahuan. Baik pelajar maupun pengajar, harus berkomitmen tegas menanamkan kesadaran dan rasa hormat yang amat sangat kepada ilmu pengetahuan.

Melalui novel ini, para pembaca diajak menyadari akan betapa pentingnya arti bermimpi, bertujuan, bercita-cita, dan tekat serta keberanian untuk mewujudkannya.

 

Kelebihan Novel

Pada dasarnya, novel ini diangkat dari sebuah kisah yang luar biasa, dikemas secara luar biasa oleh pengarang yang luar biasa. Kisah sarat muatan moral, pendidikan, dan religi ini mampu menjadi inspirasi cemerlang bagi generasi muda Indonesia yang akhir-akhir ini mati angin.

Di masa-masa ini, ketika minat masyarakat untuk berbahasa Indonesia yang baik dan benar cenderung rendah, Andrea Hirata berhasil memperoleh tempat istimewa di hati para pembaca dengan menghadirkan sebuah novel berbahasa Indonesia baku. Itu karena sama sekali tidak ditemukan kekakuan dalam pembahasaan novelnya. Ia sukses menuntun pembaca menuju puncak pemahaman dengan potensi besar melahirkan motivasi sekuat baja, melalui alur cerita yang apik dan cerdas.

Kelihaian Andrea dalam mendeskripsikan latar yang mengangkat panji-panji kebudayaan tanah kelahirannya, lengkap dengan berbagai kondisi perekonomian, politik, sosial, dan aspek-aspek lain, memang patut diacungi jempol.

 

Kelemahan Novel

Cukup sulit menemukan kelemahan dari sebuah novel berkelas dengan rating mencapai bintang lima. Tapi kelemahan itu tetap ada, yaitu daftar glosarium yang terlalu banyak sehingga agak menyulitkan pembaca.

 

Kesimpulan

Sebagai peresensi, berdasarkan dari keunggulan dan kelemahan novel ini, menilai bahwa novel ini baik untuk dijadikan bahan bacaan oleh semua kalangan karena sangat menarik dan banyak pelajaran yang dapat diambil.