Bahkan Doktor Lulusan Universitas Ternama Amerika Akhirnya Gagal
Identitas Cerpen
Judul : RT 03 RW 22: Jalan Belimbing atau Jalan Asmaradana
Pengarang : Kuntowijoyo
Dimuat : Harian Kompas, 4 April 2004
Latar Belakang Pengarang
Prof. Dr. Kuntowijoyo (lahir di Saden, Bantul, Yogyakarta pada 18 September 1943) adalah seorang budayawan, sastrawan, dan sejarawan dari Indonesia. Ia menulis cerita pendek sejak duduk di bangku SMA, kemudian drama, kemudian esai, roman. Ia baru menulis sajak sekaligus dua buah kumpulan Isyarat (1976) dan Suluk Awang Uwung (1976), ketika bermukim di Amerika Serikat untuk mencapai gelar MA dan Ph.D.
Cerpennya dimuat dalam majalah “Horison”, harian “Kompas”, dan terpilih menjadi cerpen terbaik harian “Kompas”, yakni Laki-Laki yang Kawin dengan Peri (1994), Sampan Asmara dan Pistol Perdamaian (1995), serta RT 03 RW 22: Jalan Belimbing atau Jalan Asmaradana (2004). Tulisannya berupa esai juga banyak dimuat di surat kabar.
Sinopsis Cerpen
Selepas tugas belajar, Saya tinggal di Perumnas bagian perumahan dosen, di jalan Belimbing. Saya skeluarga menamakan jalan ini sebagai jalan Asmaradana, yang berarti api asmara.
Sebagai seorang ketua RT, Saya yang berijazah S3 doktor ilmu politik luar negeri, memulai karir dengan sebuah tantangan klasik, yaitu menyelesaikan permasalahan yang dialami warga. Persoalan ini Saya sebut dengan istilah “kasus Pak Dwiyatmo versus Said Tuasikal”. Keduanya tinggal satu kopel, hanya berbatas dinding dari asbes yang menyekat RS yang masih asli itu.
Singkatnya, Pak Dwiyatmo dianggap membuat bising dan menganggu kenyamanan Said Tuasikal yang baru saja menjadi pengantin. Sebab, larut malam malah dia bekerja, memaku. Tidak ada seorang pun warga mengetahui apa sebenarnya yang ia kerjakan.
Sebagai seorang pendatang, Said Tuasikal, atas saran sang istri, tidak menegur secara langsung Dwiyatmo perihal kelakuannya, karena orang Jawa dikenal memiliki sifat jalma limpat, mampu menangkap isyarat. Jadilah Said Tuasikal mencoba bersabar dan menunggu. Namun kesabarannya habis, dan ia pun mengadukan permasalahannya pada Saya.
Saya mendengarkan keluhan-keluhan Said Tuasikal dan memberi beberapa saran yang mungkin bisa membantu menyelesaikan masalah ini, antara lain melapisi dinding-dinding dengan gypsum yang kedap suara. Usul-usul itu rupanya agak sulit dijalankan karena membutuhkan biaya lebih. Namun, Saya tidak punya waktu dan sungkan pula untuk menegur Pak Dwiyatmo karena keanehannya yang sudah menjadi rahasia umum. Pak Dwiyatmo terlalu menutup diri, konon penyebabnya adalah kematian sang istri.
Said Tuasikal semakin sering mengeluh dan Saya memberi usul-usul lain yang tetap tidak berhasil. Sementara Pak Dwiyatmo semakin terlihat misterius dan sulit dipahami.
Walhasil, Saya gagal menyelesaikan permasalahan keduanya. Saya sangat malu dan merasa sangat bodoh. Saya sudah pergi ke empat benua untuk belajar, riset, seminar dan mengajar. Tetapi bahkan tentang tetangga Saya, Saya tidak tahu apa-apa. Manusia itu misteri bagi orang lain.
Tanggapan
Membaca judul cerpen ini saya langsung tertarik, apalagi melihat nama pengarangnya. Karya-karya Kuntowijoyo terbilang sangat fenomenal yang sarat muatan moral. Cerpen ini menceritakan tentang masalah kehidupan yang dianggap klasik, namun mungkin tidak terbayangkan oleh masyarakat. Cerita ini menjadi cerita yang penuh pelajaran tanpa harus menggurui.
Cerpen ini diawali dengan sebuah pernyataan yang begitu selaras dengan logika, “Ada tragic sense of life, ada comic sense of life” lalu dilanjutkan dengan ulasan sederhana yang memperjelas arti pernyataan tersebut. Pembaca diajak menyadari berbagai hitam-putih dalam hidup, yang bertolakbelakang namun selalu hadir berdampingan.
Penulis sekali lagi mengajak pembaca membuka hati dan pikiran, kali ini mengenai pentingnya arti kepemimpinan, bahkan menitikberatkan pada tugas seorang ketua RT, yaitu tertera dalam penggalan berikut “Dia pasti tidak tahu bahwa pekerjaan Ketua RT itu jabatan paling konkret di dunia: mengurus PBB, semprotan DB, kerja bakti membersihkan selokan, menjenguk orang sakit, pidato manten, dan banyak lagi. Presiden bisa diam, Ketua RT tidak.”
Pembaca dibuat takjub dan terkesima dengan realita yang digambarkan penulis dalam cerpennya melalui “Jadilah saya Pak RT. Maka Indonesia punya Ketua RT berijazah S3 dari universitas papan atas di Amerika. Dan Ibu Pertiwi punya pengganti Pak RT, istri saya, lulusan universitas Kota New York.” Selain itu, pada bagian ini penulis juga secara tidak langsung memberi dorongan bagi pembaca agar tidak menutup harapannya sejauh jarak pandangnya saja, melainkan memotivasi bahwa semua orang bisa mencapai titik tertinggi sekalipun.
Melalui ulasan “Sebab, larut malam malah dia bekerja, memaku, membenarkan dipan atau apa begitu, thok-thok-thok. Tak seorang pun tahu apa yang dikerjakannya. Siang hari pintu rumahnya tertutup karena pergi. Malam hari juga tertutup, karena itu saran dokter puskesmas. Maka ia absen di semua kegiatan kampong” penulis membiarkan pembaca bertanya-tanya dalam pikirannya masing-masing. Ada misteri dan teka-teki terselubung yang diselipkan ke dalam cerita.
Pembaca juga diajak menyelami dan bahkan ikut terlibat dalam permasalahan yang terjadi, merasakan berbagai perasaan yang timbul-hilang bergejolak dalam diri. Terkadang menggelikan, sesekali menakutkan, dan tak henti-hentinya dibuat takjub.
Ending cerita yang tidak disangka-sangka kembali menjadi pemicu ketakjuban pembaca, bahwa masalah sederhana tersebut rupanya gagal diselesaikan oleh seorang doktor lulusan universitas ternama Amerika. Betapa merupakan sebuah kegagalan yang berujung penyesalan dan rasa malu yang amat sangat dalam diri tokoh ‘saya’. Disini pembaca dapat mengambil banyak sekali hikmah, diantaranya adalah pendidikan tinggi yang kita capai pun tidak menjamin keberhasilan dalam kehidupan bermasyarakat, karena terkadang masalah yang terjadi bukan hanya menuntut kemampuan otak tetapi juga hati dan keterampilan hidup bermasyarakat.
Keunggulan Cerpen
Penggunaan bahasa yang sederhana menjadikan cerpen ini mudah dipahami. Ide penulis diulas dengan sangat baik, membuat pembaca dapat dengan sendirinya memetik hikmah dan pelajaran yang tertuang dalam cerpen ini tanpa ada unsur menggurui atau mendikte.
Cerpen ini mampu menggugah para pembaca agar memahami adanya kaitan antara berbagai komponen yang kemudian membentuk lingkaran hubungan manusia dengan dirinya, dengan lingkungan sosial, dan juga dengan Tuhan. Disinggung pula pentingnya perasaan malu dan kejujuran yang tulus dari dalam diri, yang kini sedang krisis, bahwa ternyata berdampak positif dan akan membawa individu ke arah yang lebih baik.
Kelemahan Cerpen
Pembaca sulit menemukan hubungan judul cerpen dengan isi. Pengubahan nama jalan Belimbing menjadi Asmaradana pun tidak diketahui secara jelas alasannya.
Adanya kesenjangan yang terlampau jauh, yaitu ketidakmampuan seorang bergelar doktor lulusan universitas ternama Amerika untuk menyelesaikan permasalahan masyarakat sehari-hari yang sebenarnya dapat ditemukan solusinya secara logika, yaitu apabila ketua RT berperan dengan maksimal terhadap kedua pihak, Said Tuasikal dan Pak Dwiyatmo, bukannya satu pihak saja.
Penulis mencoba melukiskan masalah yang terjadi dengan menggunakan kata “perseteruan”, dimana yang seharusnya terjadi adalah benar-benar perseteruan antara kedua belah pihak. Namun yang diceritakan justru cenderung pada keluhan-keluhan Said Tuasikal, seolah-olah yang bermasalah hanya Said Tuasikal.
Kesimpulan
Sebagai peresensi, berdasarkan dari keunggulan dan kelemahan cerpen ini, menilai bahwa cerpen ini cocok dibaca oleh semua kalangan karena sangat menarik dan banyak pelajaran yang dapat diambil.